Sabtu, 26 Oktober 2013

Pedoman Surveilans Epidemiologi DBD di Daerah Non Endemik

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Penyakit demam berdarah dengue (dengue haemoragic fever) atau lebih dikenal dengan penyakit DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Virus ini ditularkan dari orang ke orang oleh nyamuk aedes aegepty. Penyakit DBD masih merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Hal ini disebabkan karena DBD adalah penyakit yang angka kesakitan dan kematiannya masih tinggi.1
Menurut Word Health Organization (1995) populasi di dunia diperkirakan berisiko terhadap penyakit DBD mencapai 2,5-3 miliar terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap tahun.2
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.
Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue (DD) dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya.2
Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertiggi nomor dua di dunia setelah Thailand. 2
Menurut Depkes RI (2009) pada tahun 2008 dijumpai kasus DBD di Indonesia sebanyak 137.469 kasus dengan CFR 0,86% dan IR sebesar 59,02 per 100.000 penduduk, dan mengalami kenaikan pada tahun 2009 yaitu sebesar 154.855 kasus dengan CFR 0,89% dengan IR sebesar 66,48 per 100.000, dan pada tahun 2010 Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DBD di ASEAN yaitu sebanyak 156.086 kasus dengan kematian 1.358 orang (Kompas, 2010). Tahun 2011 kasus DBD mengalami penurunan yaitu 49.486 kasus dengan kematian 403 orang (Ditjen PP & PL Kemkes RI, 2011).3
Di Sulawesi Selatan, menurut laporan dari Subdin P2&PL tahun 2003, jumlah kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) pada 26 kab./kota sebanyak 2.636 penderita dengan kematian 39 orang (CFR= 1,48 %), disamping itu pula jumlah kejadian luar biasa (KLB) sebanyak 82 kejadian dengan jumlah kasus sebanyak 495 penderita dan kematian 19 orang (CFR=3,84%). Bila dibandingkan dengan kejadian KLB Demam Berdarah Dengue Tahun 2002 maka jumlah kejadian mengalami peningkatan sebesar 1,60 kali, jumlah penderita meningkat sebesar 4,21 kali dan jumlah kematian meningkat 1,97%.3
Sedangkan untuk tahun 2004, telah dilaporkan kejadian penyakit Demam Berdarah sebanyak 2.598 penderita (termasuk data Sulawesi Barat) dengan kematian 19 orang (CFR=0,7%). 3
Berdasarkan laporan P2PL Insiden Rate DBD di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 sebesar 49 per 100.000 penduduk dengan CFR 0,8%, angka IR tertinggi adalah kota Parepare 188 per 100.000, menyusul Selayar 1 per/100.000 dan Jeneponto 1 per 100.000 penduduk sedangkan Bantaeng,Luwu Timur, Toraja Utara IR 0%.4
Saat ini pengendalian terhadap vektor adalah metode yang tersedia untuk pencegahan demam berdarah dan kontrol terhadap DBD. WHO sendiri terus mengembangkan strategi global untuk pencegahan dan pengendalian dengue / DBD, dengan prioritas utama: memperkuat surveilans epidemiologi, mempercepat pelatihan dan penerapan standar WHO terkait manajemen dan pedoman klinis DBD, promosi perubahan perilaku pada tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat untuk meningkatkan pencegahan dan pengendalian, serta penelitian percepatan pada pengembangan vaksin.5

B.     Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang di atas adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit DBD ?
2.      Bagaimana gambaran pedoman surveilans epidemiologi penyakit DBD ?

C.     Tujuan penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai adalah :
1.      Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit DBD ?

2.      Untuk mengetahui pedoman surveilans epidemiologi penyakit DBD ?

BAB II
PENGERTIAN
A.     Defenisi DBD
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit DBD dapat menyerang semua umur/orang. Sampai saat ini penyakit DBD lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita penyakit DBD pada orang dewasa.6

B.     Penyebab
Penyebab penyakit ini adalah virus dengue yang sampai sekarang dikenal ada 4 tipe (tipe 1, 2, 3dan 4), termasuk dalam group B Anthropod Borne Virus (Arbovirus), keempat virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue tipe-3 merupakan serotype virus yang dominant yang menyebabkan kasus yang berat. Masa inkubasi penyakit demam berdarah dengue diperkirakan ≤ 7 hari.6

C.     Penularan
Penularan penyakit demam berdarah dengue umumnya ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti meskipun dapat juga ditularkan oleh Aedes Albopictus yang hidup di kebun. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Orang yang kemasukan virus dengue untuk pertama kali, umumnya hanya menderita sakit demam dengue atau demam yang ringan dengan tanda/gejala yang tidak spesipik atau bahkan tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sama sekali (Asimtomatis). Penderita demam dengue biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari tanpa pengobatan. Tetapi apabila orang sebelumnya sudah pernah kemasukan virus dengue, kemudian kemasukan virus dengue dengan virus tipe lain maka orang tersebut dapat terserang penyakit demam berdarah dengue (Teori Infeksi Sekunder).6

D.    Tanda dan Gejala Penyakit
1.      Demam
Penyakit ini didahului oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus berlangsung 2-7 hari, kemudian turun secara cepat.

2.      Tanda-Tanda Pendarahan
Sebab pendarahan pada penderita penyakit DBD ialah:
a.      Trombositopeni
b.      Gangguan fungsi trombosit
c.       Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat berupa:
-         Uji Tourniquet (Rumple Leede) positif
Uji Torniquet positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai ”presumtif test” (dugaan keras) oleh karena Uji Torniquet positif pada hari-hari pertama demam ditemukan pada sebagian besar penderita penyakit DBD. Namum uji Torniquet positif juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demamchikungunyah) di lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fosa cubiti).  
-         Petechiae, Purpura, Echymosis dan perdarahan conjunctiva.
-         (Petechiae sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk. Untuk membedakannya: regangkan kulit, jika hilang maka bukan petheciae). Petechiae merupakan tanda perdarahan yang tersering ditemukan. Tanda ini dapat muncul pula perdarahan subkonjunctiva atau hematuri.
-         Hematemesis, melena.
-         Hematuria.
3.      Hepatomegali (Pembesaran Hati)
Sifat pembesaran hati :
a.      Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit.
b.      Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit.
c.       Nyeri tekan sering kali ini ditemukan tanpa disrtai ikterus.
Pembesaran hati mungkin disebabkan strain serotipe virus dengue.

4.      Renjatan (Shock)
Tanda-tanda renjatan :
a.      Kulit terasa dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki,
b.      Penderita menjadi gelisah.
c.       Sianosis disekitar mulut.
d.      Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.
e.       Tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang).
f.        Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang).
Sebab renjatan:
a.      Karena perdarahan atau
b.      Karena kebocoran plasma ke darah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak.

5.      Trombositopeni
a.      Jumlah trombosit di bawah 150.000/mm3 biasanya ditemukan diantara heri ketiga samapi ke tujuh sakit.
b.      Pemeriksaan trombosit dilakukan minimal dua kali. Pertama pada waktu  pasien masuk dan apabila normal diulangi pada hari kelima sakit. Bila perlu diulangi lagi pada hari ke 6-7 sakit.

6.      Hemokonsentrasi
Meningkatnya nilai hematokrit (Ht) merupakan indikator yang peka terhadap akan terjadinya renjatan sehingga perlu dilakukan pemeriksaan berulang secara periodik.

7.      Gejala Klinik lain
a.      Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita penyakit DBD ialah anoreaksi, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi dan kejang.
b.      Pada beberapa kasus terjadinya kejang disertai hiperpireksia dan penurunan kesadaran sehingga sering di diagnosa sebagai ensefalitis.
c.       Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan gastrointestinal dan renjatan.6

E.     Patofisiologi
         Patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit ialah:
1.      Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah
2.      Menurunnya volume plasma darah
3.      Terjadinya hipotensi
4.      Trombositopeni
5.      Diatesis hemoragik
Penyelidikan autopsi 100 penderita penyakit DBD yang meninggal membuktikan terdapat kerusakan umum sistem vaskuler akibat peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap protein plasma dan efusi pada ruang serosa, di daerah peritoneal, pleural dan perikardia.
Pada kasus berat pengurangan volume dapat mencapai 30% atau lebih. Menghilangnya plasma melalui endotelium ditandai oleh pengkatan nilai hematokrit mengakibatkan keadaan hipovolemik dan menimbulkan renjatan. Renjatan yang ditanggulangi secara tidak adekuat menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.
Kerusakan dinding pembuluh darah bersifat sementara oleh karena itu dengan pemberian cairan yang cukup, renjatan dapat diatasi dengan cepat dan efusi pleura setelah beberapa hari akan menghilang.
Sebab lain kematian DBD ialah perdarahan hebat pada saluran pencernaan yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi.
Patogenesa perdarahan pada penyakit DBD telah diselidiki secara intensif yaitu disebabkan trombositopeni hebat dan gangguan fungsi trombosit di samping difisiensi ringan atau sedang dari faktor I, II, V, VII, IX dan X dan faktor kapiler. Penyelidikan mendalam mengenai jumlah trombosit Fibrina Degration Produc (FDP), morfologi eritrosit dan penyelidikan post mortem membuktikan bahwa DIC mempunyai peranan dalam terjadinya perdarahan penyakit DBD, tetapi bukan penyebab utama.
Pada otopsi ditemukan perdarahan di lambung, usus halus, subendokard, kulit, subkapsular hepar, paru, dan jaringan lunak. Di samping itu didapatkan peningkatan daya fatogenesis dan proliferasi sistem retikuloendotelial. Kelainan hepar secara patologi anatomi sesuai dengan kelainan dari yellow Feber.
Penyelidikan terakhir membuktikan bahwa kompleks dan aktipasi sitem komplemen memegang peranan penying dalam patogenesa penyakit DBD/DSS. Kompleks imun telah ditemukan pada penderita antara hari ke-5 dan ke-7 sakit, saat terserang renjatan terjadi. Produksi aktifitas komplemen yaitu C3a dan C5a yang mempunyai sifat anafilatoksin dianggap sebagai penyebab kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah.6

F.     Diagnosa Penyakit DBD
Diagnosa penyakit DBD ditegakkan jika ditemukan:
1.      Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari
2.      Tanda perdarahan dan/atau
3.      Pembesaran hati
4.      Thrombositopeni (150.000/mm3 atau kurang)
5.      Hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari meningginya hematokrit sebanyak 20% atau lebih dibandingkan dengan nilai hematokrit selama dalam perawatan.
Dengan patokan ini, 87% penderita yang tersangka penyakit DBD ternyata diagnosanya tepat (dibuktikan dengan pemeriksaan serologi).6

G.    Prognose Penyakit
Prognose penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tergolong. Sebaliknya pasien yang keadaan umumnya sangat buruk dengan pengobatan yang adekuat dapat tergolong.6

H.    Pengobatan
Pengobatan yang spesifik DBD belum ada. Dasar pengobatan penderita penyakit DBD simptomatis adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma.6

I.       Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk aides aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat baik secara lingkungan, biologis maupun secara kimiawi yaitu: 
1.      Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modofikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. 
PSN pada dasarnya merupakan pemberantasan jentik atau mencegah agar nyamuk tidak berkembang tidak dapat berkembang biak. Pada dasarnya PNS ini dapat dilakukan dengan: 
a.       Menguras bak mandi dan tempat-tempat panampungan air sekurang- kurangnya seminggu sekali,. Ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa perkembangan telur agar berkembang menjadi nyamuk adalah 7-10 hari. 
b.      Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, drum, dan tempat air lain dengan tujuan agar nyamuk tidak dapat bertelur pada tempat-tempat tersebut.
c.       Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung setidaknya seminggu sekali. 
d.      Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari barang-barang bekas terutama yang berpotensi menjadi tempat berkembangnya jentik-jentik nyamuk, seperti sampah keleng, botol pecah, dan ember plastik. 
e.       Munutup lubang-lubang pada pohon terutama pohon bambu dangan menggunakan tanah. 
f.       Membersihkan air yang tergenang di atap rumah serta membersihkan salurannya kembali jika salurannya tersumbat oleh sampah-sampah dari daun.

2.       Biologis 
Pengendalian secara biologis adalah pengandalian perkambangan nyamuk dan jentiknya dengan menggunakan hewan atau tumbuhan. seperti memelihara ikan cupang pada kolam atau menambahkannya dengan bakteri Bt H-14.

3.      Kimiawi 
Pengendalian secara kimiawi merupakan cara pengandalian serta pembasmian nyamuk serta jentiknya dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Cara pengendalian ini antara lain dengan: 
a.       Pengasapan/fogging dengan menggunakanmal athion danf enthion yang berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan aides aegypti sampai batas tertentu.
b.      Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam dan lain-lain.
Cara yang paling mudah namun efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara diatas yang sering kita sebut dengan istilah 3M plus yaitu dengan menutup tempat penampungan air, menguras bak mandi dan tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali serta menimbun sempah-sampah dan lubang-lubang pohon yang berpotensi sebagai tempat perkembangan jentik-jentik nyamuk. Selain itu juga dapat dilakukan dengan melakukan tindakanplus seperti memelihara ikan pemakan jentik-jentik nyamuk, menur larvasida, menggunakan kelambu saat tidur, memesang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memesang obat nyamuk, memeriksa jentik nyamuk secara berkala serta tindakan lain yang sesuai dengan kondisi setempat. 7

BAB III
TUJUAN UMUM
Tujuan dari surveilans sendiri adalah Tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa yang cepat dan tepat secara nasional, propinsi dan kabupaten/kota Indonesia.1
Daerah endemik adalah suatu keadaan dimana suatu penyakit menetap yang berada dalam masyarakat pada suatu tempat / populasi tertentu.8
Daerah non endemik adalah suatu keadaan dimana suatu penyakit tidak menetap berada dalam masyarakat pada suatu tempat / populasi tertentu.
Surveilans epidemiologi penyakit DBD di daerah non endemik juga menjadi prioritas karena daerah non endemik bisa saja berubah menjadi kondisi yang dapat mempengaruhi peningkatan dan penularan penyakit DBD, oleh karena itu surveilans epidemiologi di daerah non endemik bertujuan untuk dapat menjadi tindakan penanggulangan secara efektif dan efesien untuk mengurangi peningkatan dan penularan penyakit DBD.9

BAB IV
PEDOMAN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

A.    Surveilans epidemiologi DBD
Dalam Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu : 
1.      Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data, serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak / instansi terkait secara sistematis dan terus menerus tentang situasi DBD di daerah endemik atau non endemik dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.9
2.      Penegakan diagnosis DBD
a)      Diagnosis klinis DBD adalah penderita dengan gejala demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang – kurangnya uji tourniquet positif). Trombositopenia (jumlah trombosit ≤ 100.000/μl), dan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20 %)
b)      Diagnosis Laboratoris adalah hasil pemeriksaan serologis pada tersangka DBD menunjukan hasil positif pada pemeriksaan HI test atau peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test.9
3.      Tersangka DBD adalah penderita demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari disertai tanda – tanda perdarahan sekurang – kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede) positif dan atau jumlah trombosit ≤ 100.000 / μl.9
4.      Laporan kewaspadaan dini DBD (KD/RS DBD) adalah laporan segera (paling lambat dikirimkan dalam 24 jam setelah penegakkan diagnosis) tentang adanya penderita (DD, DBD dan SSD) termasuk tersangka DBD agar segera dapat dilakukan tindakan atau langkah – langkah penanggulangan seperlunya.9
5.      Laporan tersangka DBD dimaksudkan hanya untuk kegiatan proaktif surveilans dan peningkatan kewaspadaan, tetapi bukan sebagai laporan kasus atau penderita DBD.9
6.      Unit pelayanan kesehatan adalah rumah sakit (RS), Puskesmas, Puskesmas Pembantu, balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek bersama, dokter praktek swasta, dan lain – lain.9
7.      Puskesmas setempat ialah puskesmas dengan wilayah kerja di tempat dimana penderita DBD berdomisili.9

Alur Pelaporan Penyakit Demam Berdarah Dengue
a.       Pelaporan Rutin
1)        Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)
2)         Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten / kota
3)        Pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten / kota ke dinas kesehatan provinsi
4)        Pelaporan dari dinas kesehatan provinsi ke Ditjen PP & PL.9

Bagan Alur Pelaporan Demam Berdarah Dengue


b.      Umpan balik pelaporan
Umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan memelihara kesinambungan pelaporan, kelengkapan dan ketepatan waktu pelaporan serta analisis terhadap laporan. Frekuensi umpan balik oleh masing – masing tingkat administrasi dilaksanakan setiap tiga bulan, minimal dua kali dalam setahun.
Sistem surveilans penyakit DBD adalah pengamatan penyakit DBD di Puskesmas meliputi kegiatan pencatatan, pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan mingguan, laporan mingguan wabah, laporan bulanan program P2DBD, penentuan desa / kelurahan rawan, mengetahui distribusi kasus DBD / kasus tersangka DBD per RW / dusun, menentukan musim penularan dan mengetahui kecenderungan penyakit.9

B.     Tujuan
Tujuan dari surveilans epidemiologi penyakit DBD di daerah non endemik adalah Tersedianya data dan informasi epidemiologi penyakit DBD sebagai dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan, dimana surveilans epidemiologi di daerah non endemik menjadi tindakan penanggulangan secara efektif dan efesien untuk mengurangi peningkatan dan penularan penyakit DBD.9

C.     Sasaran
Sasaran surveilans epidemiologi penyakit DBD adalah Sebagai berikut :
1.      Individu 
Pengamatan dilakukan pada individu yang terinfeksi dan mempunyai potensi untuk menularkan penyakit DBD sampai individu
tersebut tidak membahayakan dirinya maupun lingkungannya.
2.      Populasi lokal
Populasi lokal ialah kelompok penduduk yang terbatas pada orang-orang dengan risiko terkena suatu penyakit (population at risk). Pengamatan dilakukan pada individu yang kontak dengan penderita DBD, pada pejamu yang rentan (misalnya bayi), dan terhadap kelompok individu yang mempunyai peluang untuk kontak dengan penderita (misalnya tenaga medis).
3.      Populasi nasional
Populasi nasional ialah pengamatan yang dilakukan terhadap semua penduduk secara nasional. Hal ini dilakukan setelah program pemberantasan dilaksanakan.
4.      Populasi internasional
Kegiatan ini berupa pengamatan terhadap penyakit yang dilakukan oleh berbagai negara secara bersama-sama, yang ditujukan untuk penyakit-penyakit yang mudah menimbulkan epidemi atau pandemi.
Tujuan dilaksanakannya pengamatan ini adalah untuk saling memberi informasi tentang epidemi yang timbul di suatu negara agar negara lain yang tidak terkena dapat melakukan upaya pencegahan.10

D.    Langkah-langkah
Langkah-langkah surveilans epidemiologi penyakit demam berdarah dengue (DBD) di daerah non endemik terdiri dari dua yaitu :
1.      Identifikasi dini kasus
Deteksi dini kasus DBD yakni deteksi virus (antigen) secara dini dengan metode antigen capture (NS1 atau nonstructural protein 1) untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Deteksi virus bisa dilakukan sehari sebelum penderita menderita demam, hingga virus hilang pada hari ke 9. Setelah diketahui ada nya virus: penderita diberi antiviral yang efektif membunuh virus DBD.
Identifikasi dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader dengan mencari kasus DBD secara pro aktif disekitar penderita pertama yang diketahui alamatnya, atau menggunakan petugas yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD disetiap RW, atau Kelurahan.
Setiap kelurahan atau Puskesmas dilengkapi alat antigen capture NS1 yang Rapid (yang hanya hitungan 20 menit sudah diketahui, dengan ketepatan harus diatas 95%). Deteksi dini kasus pertama harus di lakukan sedini mungkin.
Model ini terdiri dari unit pelayanan garis depan (front liners). Mereka adalah Puskesmas dan atau dokter praktek umum/klinik yang berpartisipasi yang diharapkan merupakan unit pelayanan yang dimintai pertolongan pengobatan akan mencatat alamat penderita positif DBD. Penderita yang berobat akan dicatat alamatnya, lalu dilaporkan ke Puskesmas, yang kemudian hendaknya dilakukan Penyelidikan Epidemiologi oleh petugas survailans yang ditunjuk dan segera menyisir sekitar rumah menanyakan secara proaktif apakah ada yang menderita demam tambahan atau tidak (ada tidak penderita tambahan). Diagnostik dilakukan dengan antigen captured yang Rapid (test). Bagi yang memberikan gambaran positif akan langsung diberi pengobatan dengan antiviral DBD. Setiap penderita akan memerlukan dukungan laboratorium untuk memeriksa tanda awal seperti, hematokrit, trombosit, leucocyte dan gejala klinik lain. Oleh sebab itu dianjurkan ada Puskesmas rujukan laboratorium atau kepesertaan Laboratorium Klinik dalam wilayah bersangkutan.11

2.      Perhitungan besarnya masalah
Hingga saat ini, perluasan wilayah yang melaporkan kasus DBD terus meningkat di Indonesia. Tahun 2006 hanya 200 kabupaten/ kota saja yang melaporkan terjadi sebaran endemis DBD dan selebihnya dalam daerah non endemis, sedangkan tahun 2007 menjadi 350 kabupaten/kota dan pada 2010 mencapai 464 kabupaten/kota.12
Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.13


           Tabel 1. Jumlah dan Persebaran Kasus DBD Tahun 1968 – 2009
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut.13

Gambar 1. Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia
Tahun 1968 – 2009
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Berdasarkan situasi di atas, terjadi tren yang terus meningkat dari tahun 1968 sampai tahun 2009.13

Gambar 2. Persentase Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur
Tahun 1993 - 2009
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur >=15 tahun.13

BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat sampai saat ini, hal ini disebabkan demam berdarah dengue menyebar diseluruh dunia yang dapat menjangkiti semua golongan usia.
Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.
Surveilans epidemiologi khususnya di daerah non endemik DBD diharapkan  menjadi salah satu metode tindakan penanggulangan secara efektif dan efesien untuk mengurangi peningkatan dan penularan penyakit DBD.


B.     Saran
1.      Perlunya digalakkan Gerakan 3 M plus, tidak hanya bila terjadi wabah tetapi harus dijadikan gerakan nasional melalui pendekatan masyarakat.
2.      Early Warning Outbreak Recognition System (EWORS) perlu dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna.
3.      Pelaporan deteksi dini DBD dapat dilakukan segera mungkin untuk menekan penyebaran dan penularan penyakit DBD.
4.      Partisipasi antar sektor dan masyarakat sangat diperlukan untuk optimalisasi penanganan dan pemberantasan penyakit DBD baik di daerah endemik maupun daerah non endemik.









DAFTAR PUSTAKA

1.      Fitriani, Karina. 2010. Surveilans Penyakit Demam Berdarah. http://karinav3any.blogspot.com
2.      Indonesian Public Health. 2013. Surveilans Epidemiologi DBD. http://www.indonesian-publichealth.com/2013/02/surveilans-epidemiologi -dbd.html
3.      Ditjen PP & PL Kemkes RI. 2011. http://www.pppl.depkes.go.id/
4.      Dr.dr.H.Rachmat Latief, SpPD., M.Kes., FINASIM. 2010. http://dinkes-sulsel.go.id/new/index.php?option=com_content&task=view&id=808&Itemid=1
5.      Depkes RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. www.depkes.go.id
6.      Ratuti. 2012. Tugas Surveilans. http://mr-ratuti.blogspot.com/2012/04/tugas-surveilans.html
9.      2013. Surveilans Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).http://opynmananta.blogspot.com/2013/04/surveilans-epidemiologi-penyakit-demam.html
11.    Prof. Dr. Umar Fachmi Achmadi, MPH, PHD. Manajemen Demam Berdarah Berbasis Wilayah. Buletin Jendela Epidemiologi Volume 2 tahun 2010
12.    Humaniora. Cegah Demam Berdarah dengan Intervensi Proteksi Individual. 2013.http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/04/3/143638/Cegah-Deman-Berdarah-dengan-Intervensi-Proteksi-Individual
13.    2010. DBD di Indonesia tahun 1968-2009.Buletin Jendela Epidemiologi Volume 2 tahun 2010