BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Penyakit
demam berdarah dengue (dengue haemoragic fever) atau lebih dikenal dengan
penyakit DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Virus ini
ditularkan dari orang ke orang oleh nyamuk aedes aegepty. Penyakit DBD masih
merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak
sosial maupun ekonomi. Hal ini disebabkan karena DBD adalah penyakit yang angka
kesakitan dan kematiannya masih tinggi.1
Menurut
Word Health Organization (1995) populasi di dunia diperkirakan berisiko
terhadap penyakit DBD mencapai 2,5-3 miliar terutama yang tinggal di daerah
perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 50
juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap tahun.2
Data
dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya.
Diperkirakan
untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue (DD) dan 500.000 kasus
DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 90% penderitanya adalah
anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian oleh penyakit
DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya.2
Sementara
itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai
negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertiggi nomor dua di
dunia setelah Thailand. 2
Menurut
Depkes RI (2009) pada tahun 2008 dijumpai kasus DBD di Indonesia sebanyak
137.469 kasus dengan CFR 0,86% dan IR sebesar 59,02 per 100.000 penduduk, dan
mengalami kenaikan pada tahun 2009 yaitu sebesar 154.855 kasus dengan CFR 0,89%
dengan IR sebesar 66,48 per 100.000, dan pada tahun 2010 Indonesia menempati
urutan tertinggi kasus DBD di ASEAN yaitu sebanyak 156.086 kasus dengan
kematian 1.358 orang (Kompas, 2010). Tahun 2011 kasus DBD mengalami penurunan
yaitu 49.486 kasus dengan kematian 403 orang (Ditjen PP & PL Kemkes RI,
2011).3
Di Sulawesi Selatan, menurut laporan dari Subdin P2&PL
tahun 2003, jumlah kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) pada 26
kab./kota sebanyak 2.636 penderita dengan kematian 39 orang (CFR= 1,48 %),
disamping itu pula jumlah kejadian luar biasa (KLB) sebanyak 82 kejadian dengan
jumlah kasus sebanyak 495 penderita dan kematian 19 orang (CFR=3,84%). Bila dibandingkan
dengan kejadian KLB Demam Berdarah Dengue Tahun 2002 maka jumlah kejadian
mengalami peningkatan sebesar 1,60 kali, jumlah penderita meningkat sebesar
4,21 kali dan jumlah kematian meningkat 1,97%.3
Sedangkan untuk tahun 2004, telah dilaporkan kejadian
penyakit Demam Berdarah sebanyak 2.598 penderita (termasuk data Sulawesi Barat)
dengan kematian 19 orang (CFR=0,7%). 3
Berdasarkan laporan P2PL Insiden Rate DBD di Sulawesi Selatan
pada tahun 2010 sebesar 49 per 100.000 penduduk dengan CFR 0,8%, angka IR
tertinggi adalah kota Parepare 188 per 100.000, menyusul Selayar 1 per/100.000
dan Jeneponto 1 per 100.000 penduduk sedangkan Bantaeng,Luwu Timur, Toraja
Utara IR 0%.4
Saat ini
pengendalian terhadap vektor adalah metode yang tersedia untuk pencegahan demam
berdarah dan kontrol terhadap DBD. WHO sendiri terus mengembangkan strategi
global untuk pencegahan dan pengendalian dengue / DBD, dengan prioritas utama:
memperkuat surveilans epidemiologi, mempercepat pelatihan dan penerapan standar
WHO terkait manajemen dan pedoman klinis DBD, promosi perubahan perilaku pada
tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat untuk meningkatkan pencegahan dan
pengendalian, serta penelitian percepatan pada pengembangan vaksin.5
B. Rumusan
masalah
Adapun rumusan masalah
dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang di atas adalah sebagai berikut
:
1. Bagaimana
gambaran epidemiologi penyakit DBD ?
2. Bagaimana
gambaran pedoman surveilans epidemiologi penyakit DBD ?
C. Tujuan
penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai adalah :
1. Untuk
mengetahui gambaran epidemiologi penyakit DBD ?
2. Untuk
mengetahui pedoman surveilans epidemiologi penyakit DBD ?
BAB II
PENGERTIAN
A.
Defenisi
DBD
Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti.
Penyakit DBD dapat menyerang semua umur/orang. Sampai saat ini penyakit DBD
lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir
ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita penyakit
DBD pada orang dewasa.6
B.
Penyebab
Penyebab penyakit
ini adalah
virus dengue yang sampai sekarang dikenal ada 4 tipe (tipe 1, 2, 3dan 4),
termasuk dalam group B Anthropod Borne Virus (Arbovirus), keempat virus ini
telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Penelitian di Indonesia
menunjukkan Dengue
tipe-3 merupakan serotype virus yang dominant yang menyebabkan kasus yang
berat. Masa inkubasi penyakit demam berdarah dengue
diperkirakan ≤ 7 hari.6
C. Penularan
Penularan
penyakit demam berdarah dengue umumnya ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti meskipun dapat juga ditularkan oleh
Aedes Albopictus yang hidup di kebun. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir
di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan
ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Orang yang kemasukan virus dengue
untuk pertama kali, umumnya hanya menderita sakit demam dengue atau demam yang
ringan dengan tanda/gejala yang tidak spesipik atau
bahkan tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sama sekali (Asimtomatis).
Penderita demam dengue biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari tanpa
pengobatan. Tetapi apabila orang sebelumnya sudah pernah kemasukan virus
dengue, kemudian kemasukan virus dengue dengan virus tipe lain maka orang
tersebut dapat terserang penyakit demam berdarah dengue (Teori Infeksi
Sekunder).6
D. Tanda dan Gejala Penyakit
1.
Demam
Penyakit ini didahului oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus
berlangsung 2-7 hari, kemudian turun secara cepat.
2.
Tanda-Tanda
Pendarahan
Sebab
pendarahan pada penderita penyakit DBD ialah:
a. Trombositopeni
b. Gangguan fungsi trombosit
c. Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat berupa:
-
Uji Tourniquet
(Rumple Leede) positif
Uji Torniquet
positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai ”presumtif test”
(dugaan keras) oleh karena Uji Torniquet positif pada hari-hari pertama demam
ditemukan pada sebagian besar penderita penyakit DBD. Namum uji Torniquet
positif juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demamchikungunyah) di
lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fosa cubiti).
-
Petechiae,
Purpura, Echymosis dan perdarahan conjunctiva.
-
(Petechiae
sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk. Untuk membedakannya:
regangkan kulit, jika hilang maka bukan petheciae). Petechiae merupakan tanda
perdarahan yang tersering ditemukan. Tanda ini dapat muncul pula perdarahan
subkonjunctiva atau hematuri.
-
Hematemesis,
melena.
-
Hematuria.
3.
Hepatomegali
(Pembesaran Hati)
Sifat
pembesaran hati :
a. Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit.
b. Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit.
c. Nyeri tekan sering kali ini ditemukan tanpa disrtai ikterus.
Pembesaran hati mungkin disebabkan strain serotipe
virus dengue.
4.
Renjatan
(Shock)
Tanda-tanda
renjatan :
a. Kulit terasa dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki,
b. Penderita menjadi gelisah.
c. Sianosis disekitar mulut.
d. Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.
e. Tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang).
f.
Tekanan darah
menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang).
Sebab renjatan:
a. Karena perdarahan atau
b. Karena kebocoran plasma ke darah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak.
5.
Trombositopeni
a. Jumlah trombosit di bawah 150.000/mm3 biasanya ditemukan diantara heri
ketiga samapi ke tujuh sakit.
b. Pemeriksaan trombosit dilakukan minimal dua kali. Pertama pada
waktu pasien masuk dan apabila normal diulangi pada hari kelima
sakit. Bila perlu diulangi lagi pada hari ke 6-7 sakit.
6.
Hemokonsentrasi
Meningkatnya
nilai hematokrit (Ht) merupakan indikator yang peka terhadap akan terjadinya
renjatan sehingga perlu dilakukan pemeriksaan berulang secara periodik.
7.
Gejala Klinik
lain
a. Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita penyakit DBD ialah anoreaksi,
lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi dan kejang.
b. Pada beberapa kasus terjadinya kejang disertai hiperpireksia dan penurunan
kesadaran sehingga sering di diagnosa sebagai ensefalitis.
c. Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan
gastrointestinal dan renjatan.6
E. Patofisiologi
Patofisiologi
utama yang menentukan berat penyakit ialah:
1.
Meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah
2.
Menurunnya
volume plasma darah
3.
Terjadinya
hipotensi
4.
Trombositopeni
5.
Diatesis
hemoragik
Penyelidikan
autopsi 100 penderita penyakit DBD yang meninggal membuktikan terdapat
kerusakan umum sistem vaskuler akibat peninggian permeabilitas dinding pembuluh
darah terhadap protein plasma dan efusi pada ruang serosa, di daerah
peritoneal, pleural dan perikardia.
Pada kasus
berat pengurangan volume dapat mencapai 30% atau lebih. Menghilangnya plasma
melalui endotelium ditandai oleh pengkatan nilai hematokrit mengakibatkan
keadaan hipovolemik dan menimbulkan renjatan. Renjatan yang ditanggulangi
secara tidak adekuat menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan
kematian.
Kerusakan
dinding pembuluh darah bersifat sementara oleh karena itu dengan pemberian
cairan yang cukup, renjatan dapat diatasi dengan cepat dan efusi pleura setelah
beberapa hari akan menghilang.
Sebab lain
kematian DBD ialah perdarahan hebat pada saluran pencernaan yang biasanya
timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi.
Patogenesa
perdarahan pada penyakit DBD telah diselidiki secara intensif yaitu disebabkan
trombositopeni hebat dan gangguan fungsi trombosit di samping difisiensi ringan
atau sedang dari faktor I, II, V, VII, IX dan X dan faktor kapiler.
Penyelidikan mendalam mengenai jumlah trombosit Fibrina Degration Produc (FDP),
morfologi eritrosit dan penyelidikan post mortem membuktikan bahwa DIC
mempunyai peranan dalam terjadinya perdarahan penyakit DBD, tetapi bukan
penyebab utama.
Pada otopsi
ditemukan perdarahan di lambung, usus halus, subendokard, kulit, subkapsular
hepar, paru, dan jaringan lunak. Di samping itu didapatkan peningkatan daya
fatogenesis dan proliferasi sistem retikuloendotelial. Kelainan hepar secara
patologi anatomi sesuai dengan kelainan dari yellow Feber.
Penyelidikan
terakhir membuktikan bahwa kompleks dan aktipasi sitem komplemen memegang
peranan penying dalam patogenesa penyakit DBD/DSS. Kompleks imun telah
ditemukan pada penderita antara hari ke-5 dan ke-7 sakit, saat terserang
renjatan terjadi. Produksi aktifitas komplemen yaitu C3a dan C5a yang mempunyai
sifat anafilatoksin dianggap sebagai penyebab kerusakan dinding kapiler yang
menimbulkan peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah.6
F. Diagnosa
Penyakit DBD
Diagnosa penyakit DBD
ditegakkan jika ditemukan:
1.
Demam tinggi
mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari
2.
Tanda
perdarahan dan/atau
3.
Pembesaran hati
4.
Thrombositopeni
(150.000/mm3 atau kurang)
5.
Hemokonsentrasi
yang dapat dilihat dari meningginya hematokrit sebanyak 20% atau lebih
dibandingkan dengan nilai hematokrit selama dalam perawatan.
Dengan patokan ini, 87% penderita yang tersangka
penyakit DBD ternyata diagnosanya tepat (dibuktikan dengan pemeriksaan
serologi).6
G. Prognose
Penyakit
Prognose
penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya
tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tergolong. Sebaliknya
pasien yang keadaan umumnya sangat buruk dengan pengobatan yang adekuat dapat
tergolong.6
H. Pengobatan
Pengobatan yang
spesifik DBD belum ada. Dasar pengobatan penderita penyakit DBD simptomatis
adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma.6
I. Pencegahan
Pencegahan
penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk aides
aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode yang tepat baik secara lingkungan, biologis maupun secara
kimiawi yaitu:
1.
Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modofikasi tempat
perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain
rumah.
PSN pada dasarnya merupakan pemberantasan jentik atau mencegah agar nyamuk
tidak berkembang tidak dapat berkembang biak. Pada dasarnya PNS ini dapat
dilakukan dengan:
a.
Menguras bak mandi dan tempat-tempat panampungan air
sekurang- kurangnya seminggu sekali,. Ini dilakukan atas dasar pertimbangan
bahwa perkembangan telur agar berkembang menjadi nyamuk adalah 7-10 hari.
b.
Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan,
drum, dan tempat air lain dengan tujuan agar nyamuk tidak dapat bertelur pada
tempat-tempat tersebut.
c.
Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung
setidaknya seminggu sekali.
d.
Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari
barang-barang bekas terutama yang berpotensi menjadi tempat berkembangnya
jentik-jentik nyamuk, seperti sampah keleng, botol pecah, dan ember
plastik.
e.
Munutup lubang-lubang pada pohon terutama pohon bambu
dangan menggunakan tanah.
f.
Membersihkan air yang tergenang di atap rumah serta
membersihkan salurannya kembali jika salurannya tersumbat oleh sampah-sampah
dari daun.
2.
Biologis
Pengendalian secara biologis adalah pengandalian perkambangan nyamuk dan
jentiknya dengan menggunakan hewan atau tumbuhan. seperti memelihara ikan
cupang pada kolam atau menambahkannya dengan bakteri Bt H-14.
3.
Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi merupakan cara pengandalian serta pembasmian
nyamuk serta jentiknya dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Cara pengendalian
ini antara lain dengan:
a. Pengasapan/fogging
dengan menggunakanmal athion danf enthion yang berguna untuk mengurangi
kemungkinan penularan aides aegypti sampai batas tertentu.
b. Memberikan
bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong air,
vas bunga, kolam dan lain-lain.
Cara yang paling mudah namun efektif dalam mencegah
penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara diatas yang sering kita
sebut dengan istilah 3M plus yaitu dengan menutup tempat penampungan air,
menguras bak mandi dan tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu
sekali serta menimbun sempah-sampah dan lubang-lubang pohon yang berpotensi
sebagai tempat perkembangan jentik-jentik nyamuk. Selain itu juga dapat
dilakukan dengan melakukan tindakanplus seperti memelihara ikan pemakan
jentik-jentik nyamuk, menur larvasida, menggunakan kelambu saat tidur, memesang
kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memesang obat
nyamuk, memeriksa jentik nyamuk secara berkala serta tindakan lain yang sesuai
dengan kondisi setempat. 7
BAB III
TUJUAN UMUM
Tujuan dari surveilans sendiri
adalah Tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar manajemen
kesehatan untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta respon
kejadian luar biasa yang cepat dan tepat secara nasional, propinsi dan
kabupaten/kota Indonesia.1
Daerah endemik adalah suatu keadaan dimana
suatu penyakit menetap yang berada dalam masyarakat pada suatu tempat /
populasi tertentu.8
Daerah non endemik adalah suatu keadaan
dimana suatu penyakit tidak menetap berada dalam masyarakat pada suatu tempat /
populasi tertentu.
Surveilans epidemiologi penyakit DBD di
daerah non endemik juga menjadi prioritas karena daerah non endemik bisa saja
berubah menjadi kondisi yang dapat mempengaruhi peningkatan dan penularan
penyakit DBD, oleh karena itu surveilans epidemiologi di daerah non endemik
bertujuan untuk dapat menjadi tindakan penanggulangan secara efektif dan
efesien untuk mengurangi peningkatan dan penularan penyakit DBD.9
BAB IV
PEDOMAN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
A. Surveilans
epidemiologi DBD
Dalam
Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), ada beberapa hal
yang perlu diketahui, yaitu :
1. Surveilans
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan
interpretasi data, serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan
pihak / instansi terkait secara sistematis dan terus menerus tentang situasi
DBD di daerah endemik atau non endemik dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien.9
2. Penegakan diagnosis
DBD
a) Diagnosis
klinis DBD adalah penderita dengan gejala demam tinggi mendadak, tanpa sebab
yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari disertai manifestasi
perdarahan (sekurang – kurangnya uji tourniquet positif). Trombositopenia (jumlah
trombosit ≤ 100.000/μl), dan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20 %)
b) Diagnosis
Laboratoris adalah hasil pemeriksaan serologis pada tersangka DBD menunjukan
hasil positif pada pemeriksaan HI test atau peninggian (positif) IgG saja atau
IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test.9
3.
Tersangka DBD adalah penderita demam tinggi mendadak,
tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari disertai
tanda – tanda perdarahan sekurang – kurangnya uji tourniquet (Rumple
Leede) positif dan atau jumlah trombosit ≤ 100.000 / μl.9
4.
Laporan kewaspadaan dini DBD (KD/RS DBD) adalah
laporan segera (paling lambat dikirimkan dalam 24 jam setelah penegakkan
diagnosis) tentang adanya penderita (DD, DBD dan SSD) termasuk tersangka DBD
agar segera dapat dilakukan tindakan atau langkah – langkah penanggulangan
seperlunya.9
5.
Laporan tersangka DBD dimaksudkan hanya untuk kegiatan
proaktif surveilans dan peningkatan kewaspadaan, tetapi bukan sebagai laporan
kasus atau penderita DBD.9
6.
Unit pelayanan kesehatan adalah rumah sakit (RS),
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek
bersama, dokter praktek swasta, dan lain – lain.9
7.
Puskesmas setempat ialah puskesmas dengan wilayah
kerja di tempat dimana penderita DBD berdomisili.9
Alur
Pelaporan Penyakit Demam Berdarah Dengue
a.
Pelaporan Rutin
1)
Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain
puskesmas)
2)
Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan
kabupaten / kota
3)
Pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten / kota ke
dinas kesehatan provinsi
4)
Pelaporan dari dinas kesehatan provinsi ke Ditjen PP
& PL.9
Bagan Alur Pelaporan Demam Berdarah Dengue
b.
Umpan balik pelaporan
Umpan balik pelaporan perlu
dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan memelihara kesinambungan pelaporan,
kelengkapan dan ketepatan waktu pelaporan serta analisis terhadap laporan.
Frekuensi umpan balik oleh masing – masing tingkat administrasi dilaksanakan
setiap tiga bulan, minimal dua kali dalam setahun.
Sistem surveilans penyakit DBD
adalah pengamatan penyakit DBD di Puskesmas meliputi kegiatan pencatatan,
pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan mingguan, laporan
mingguan wabah, laporan bulanan program P2DBD, penentuan desa / kelurahan
rawan, mengetahui distribusi kasus DBD / kasus tersangka DBD per RW / dusun,
menentukan musim penularan dan mengetahui kecenderungan penyakit.9
B. Tujuan
Tujuan dari surveilans epidemiologi
penyakit DBD di daerah non endemik adalah Tersedianya data dan informasi
epidemiologi penyakit DBD sebagai dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan
keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program kesehatan
dan peningkatan kewaspadaan, dimana surveilans epidemiologi di daerah non
endemik menjadi tindakan penanggulangan secara efektif dan efesien untuk mengurangi
peningkatan dan penularan penyakit DBD.9
C. Sasaran
Sasaran
surveilans epidemiologi penyakit DBD adalah Sebagai berikut :
1. Individu
Pengamatan
dilakukan pada individu yang terinfeksi dan mempunyai potensi untuk menularkan
penyakit DBD sampai individu
tersebut
tidak membahayakan dirinya maupun lingkungannya.
2. Populasi
lokal
Populasi
lokal ialah kelompok penduduk yang terbatas pada orang-orang dengan risiko
terkena suatu penyakit (population at risk). Pengamatan dilakukan pada individu
yang kontak dengan penderita DBD, pada pejamu yang rentan (misalnya bayi), dan
terhadap kelompok individu yang mempunyai peluang untuk kontak dengan penderita
(misalnya tenaga medis).
3. Populasi
nasional
Populasi
nasional ialah pengamatan yang dilakukan terhadap semua penduduk secara
nasional. Hal ini dilakukan setelah program pemberantasan dilaksanakan.
4. Populasi
internasional
Kegiatan
ini berupa pengamatan terhadap penyakit yang dilakukan oleh berbagai negara
secara bersama-sama, yang ditujukan untuk penyakit-penyakit yang mudah
menimbulkan epidemi atau pandemi.
Tujuan dilaksanakannya pengamatan ini adalah untuk saling memberi informasi tentang epidemi yang timbul di suatu negara agar negara lain yang tidak terkena dapat melakukan upaya pencegahan.10
Tujuan dilaksanakannya pengamatan ini adalah untuk saling memberi informasi tentang epidemi yang timbul di suatu negara agar negara lain yang tidak terkena dapat melakukan upaya pencegahan.10
D. Langkah-langkah
Langkah-langkah
surveilans epidemiologi penyakit demam berdarah dengue (DBD) di daerah non
endemik terdiri dari dua yaitu :
1. Identifikasi
dini kasus
Deteksi
dini kasus DBD yakni deteksi virus (antigen) secara dini dengan metode antigen
capture (NS1 atau nonstructural protein 1) untuk mendeteksi adanya virus dalam
tubuh. Deteksi virus bisa dilakukan sehari sebelum penderita menderita demam,
hingga virus hilang pada hari ke 9. Setelah diketahui ada nya virus: penderita
diberi antiviral yang efektif membunuh virus DBD.
Identifikasi
dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader dengan mencari kasus DBD
secara pro aktif disekitar penderita pertama yang diketahui alamatnya, atau
menggunakan petugas yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD disetiap RW, atau
Kelurahan.
Setiap
kelurahan atau Puskesmas dilengkapi alat antigen capture NS1 yang Rapid
(yang hanya hitungan 20 menit sudah diketahui, dengan ketepatan harus diatas
95%). Deteksi dini kasus pertama harus di lakukan sedini mungkin.
Model
ini terdiri dari unit pelayanan garis depan (front liners). Mereka
adalah Puskesmas dan atau dokter praktek umum/klinik yang berpartisipasi yang
diharapkan merupakan unit pelayanan yang dimintai pertolongan pengobatan akan
mencatat alamat penderita positif DBD. Penderita yang berobat akan dicatat
alamatnya, lalu dilaporkan ke Puskesmas, yang kemudian hendaknya dilakukan Penyelidikan
Epidemiologi oleh petugas survailans yang ditunjuk dan segera menyisir sekitar
rumah menanyakan secara proaktif apakah ada yang menderita demam tambahan atau
tidak (ada tidak penderita tambahan). Diagnostik dilakukan dengan antigen captured
yang Rapid (test). Bagi yang memberikan gambaran positif akan langsung
diberi pengobatan dengan antiviral DBD. Setiap penderita akan memerlukan dukungan
laboratorium untuk memeriksa tanda awal seperti, hematokrit, trombosit,
leucocyte dan gejala klinik lain. Oleh sebab itu dianjurkan ada Puskesmas
rujukan laboratorium atau kepesertaan Laboratorium Klinik dalam wilayah
bersangkutan.11
2. Perhitungan
besarnya masalah
Hingga
saat ini, perluasan wilayah yang melaporkan kasus DBD terus meningkat di
Indonesia. Tahun 2006 hanya 200 kabupaten/ kota saja yang melaporkan terjadi
sebaran endemis DBD dan selebihnya dalam daerah non endemis, sedangkan tahun
2007 menjadi 350 kabupaten/kota dan pada 2010 mencapai 464 kabupaten/kota.12
Sejak tahun 1968 telah
terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis
DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada
tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada
laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada
tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.13
Tabel 1. Jumlah dan Persebaran
Kasus DBD Tahun 1968 – 2009
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Peningkatan
dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas
penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim,
perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya
yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut.13
Gambar
1. Angka Insiden DBD per 100.000
Penduduk di Indonesia
Tahun 1968 – 2009
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Berdasarkan situasi di atas,
terjadi tren yang terus meningkat dari tahun 1968 sampai tahun 2009.13
Gambar 2.
Persentase Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur
Tahun
1993 - 2009
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Kasus DBD perkelompok umur dari tahun
1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok
umur <15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung
pada kelompok umur >=15
tahun.13
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan
masyarakat sampai saat ini, hal ini disebabkan demam berdarah dengue menyebar
diseluruh dunia yang dapat menjangkiti semua golongan usia.
Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut
kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan
wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk
serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih
kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor
pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang
sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran
virus DBD semakin mudah dan semakin luas.
Surveilans epidemiologi khususnya di daerah non
endemik DBD diharapkan menjadi salah satu
metode tindakan penanggulangan secara efektif dan efesien untuk mengurangi
peningkatan dan penularan penyakit DBD.
B. Saran
1. Perlunya
digalakkan Gerakan 3 M plus, tidak hanya bila terjadi wabah tetapi harus
dijadikan gerakan nasional melalui pendekatan masyarakat.
2. Early
Warning Outbreak Recognition System (EWORS) perlu dilakukan secara berdaya guna
dan berhasil guna.
3. Pelaporan
deteksi dini DBD dapat dilakukan segera mungkin untuk menekan penyebaran dan
penularan penyakit DBD.
4. Partisipasi
antar sektor dan masyarakat sangat diperlukan untuk optimalisasi penanganan dan
pemberantasan penyakit DBD baik di daerah endemik maupun daerah non endemik.
DAFTAR PUSTAKA
2. Indonesian
Public Health. 2013. Surveilans Epidemiologi DBD. http://www.indonesian-publichealth.com/2013/02/surveilans-epidemiologi
-dbd.html
4. Dr.dr.H.Rachmat
Latief, SpPD., M.Kes., FINASIM. 2010. http://dinkes-sulsel.go.id/new/index.php?option=com_content&task=view&id=808&Itemid=1
5. Depkes RI.
2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. www.depkes.go.id
9. 2013. Surveilans Epidemiologi Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD).http://opynmananta.blogspot.com/2013/04/surveilans-epidemiologi-penyakit-demam.html
10. 2010.
Surveilans Epidemiologi. http://zweetscorpioluv.blogspot.com/2010/06/surveilans-epidemiologi.html
11. Prof. Dr.
Umar Fachmi Achmadi, MPH, PHD. Manajemen Demam Berdarah Berbasis Wilayah. Buletin
Jendela Epidemiologi Volume 2 tahun 2010
12. Humaniora.
Cegah Demam Berdarah dengan Intervensi Proteksi Individual. 2013.http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/04/3/143638/Cegah-Deman-Berdarah-dengan-Intervensi-Proteksi-Individual
13. 2010. DBD di
Indonesia tahun 1968-2009.Buletin Jendela Epidemiologi Volume 2 tahun 2010