BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Leptospirosis
termasuk penyakit menular zoonosis disebabkan oleh Leptospira interogans,
golongan spirochaeta yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Leptospirosis
merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di dunia. Penyakit ini pertama
kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi
disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan
gejala tersebut oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai “Weil’s Disease”. Pada
tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa Weil’s Disease disebabkan oleh
bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis leptospira
dapat diisolasi dengan baik dari manusia maupun hewan.
Leptospirosis
menjadi masalah di dunia karena angka kejadian yang dilaporkan rendah di sebagian
besar negara, oleh karena kesulitan dalam diagnosis, sehingga kejadian pasti
tidak dapat diketahui, walaupun demikian di daerah tropik yang basah
diperkirakan terdapat kasus leptospirosis sebesar 10-30 per 100.000 penduduk
pertahun. Kendala pelaporan leptospirosis mirip dengan gejala influenza,
penyakit kuning, hemorrhage paru-paru, Myocarditis dan meningitis
serta tidak tersedianya alat deteksi dini.
WHO
memberi perhatian khusus terhadap leptospirosis oleh karena saat ini
prevalensinya yang masih tinggi di berbagai daerah dan dapat menyebabkan
kematian secara mendadak (penyakit akut). Penularan leptospirosis yang terjadi
di beberapa wilayah merupakan simbol buruknya sanitasi, sumber air yang
tercemar, perilaku hidup sehat (personal hygiene) yang rendah, kondisi
perumahan yang di bawah standar dan persisten rodent penyebar leptospira.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui deskripsi mengenai
epidemiologi penyakit leptospirosis dan kerentanan dan keterpaparan penyakit
leptospirosis ditinjau dari aspek epidemiologi.
C. Tujuan
penulisan
Adapun tujuan
dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui deskripsi mengenai
epidemiologi penyakit leptospirosis dan kerentanan dan keterpaparan penyakit
leptospirosis ditinjau dari aspek epidemiologi.
BAB II
PEMBAHASAN LEPTOSPRIROSIS
A.
Pengertian
Leptospirosis adalah suatu penyakit
zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak
aktif yang dinamakan leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama
seperti Mud fever, Slime fever (Shlamn fieber), Swam fever, autumnal fever,
infectious jaundice, field fever, cane cutter dan lain-lain dengan masa
inkubasi selama 4 - 19 hari. Leptospirosis merupakan istilah untuk penyakit
yang disebabkan oleh semua leptospira tanpa memandang serotipe tertentu.
Hubungan gejala klinis dengan infeksi oleh serotipe yang berbeda membawa pada
kesimpulan bahwa satu serotipe Leptospira mungkin bertanggung jawab terhadap
berbagai macam gambaran klinis; sebaliknya, satu gejala seperti meningitis
aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe. Karena itu lebih disukai
untuk menggunakan istilah umum leptospirosis dibandingkan dengan nama serupa
seperti penyakit Weil dan demam kanikola.
B. Etiologi
Leptospirosis merupakan
penyakit hewan yang disebabkan oleh
bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit) berbentuk
spiral termasuk dalam genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo
spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan
berkembang pelan secara anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu
L interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L biflexa adalah saprofitik.
Berdasarkan
temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies patogen yang tampak
pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi.
Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah
tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan
peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi.
Setiap hewan
berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda. Hewan yang paling
banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Hewan
tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia.
C.
Cara Penularan
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini :
1) Kontak
dengan air, tanah, dan lumpur yang tercemar bakteri.
2) Kontak
dengan organ, darah, dan urin hewan yang terinfeksi.
3) Mengonsumsi
makanan yang terkontaminasi.
Berdasarkan berbagai
data, infeksi yang sering adalah melalu cara yang pertama. Bakteri masuk ke
tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam
literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan
kulit intak (sehat) terutama bila kontak lama dengan air. Hewan penular utama
pada manusia adalah tikus. Di Amerika Serikat penular terbesar adalah anjing.
Di Indonesia, infeksi ini banyak terjadi di daerah banjir. Detergen, bahkan
konsentrasi rendah sekalipun, terbukti dapat menghambat perkembangan hidup
leptospira.
Faine S. menyatakan
bahwa terdapat tiga pola epidemiologi leptospira, yaitu :
1.
Penularan via kontak langsung, biasanya
pada daerah beriklim sedang, sering terjadi di peternakan sapi atau babi.
2.
Penularan atau penyebaran penyakit
karena kontaminasi yang luas pada lingkungan, biasanya pada iklim tropis-basah
(musim hujan). Paparan pada manusia secara lebih luas tidak terbatas karena
pekerjaan.
3.
Penularan via infeksi rodensia pada
lingkungan perkotaan yang kumuh.
D. Manifestasi Klinik
Masa inkubasi Leptospirosis pada
manusia yaitu 2 - 26 hari. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang
sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan
diagnosa. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai
dengan flu ringan sampai berat, Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi
tidak bergejala tetapi serologis positif. Sekitar 90 persen penderita jaundis
ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai
penyakit Weil. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase
septisemik dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi
penderita membaik. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi
Leptospirosis yang berat.
1. Fase Septisemik
Fase
Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri
dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan
tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7
hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah
sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya,
gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan
hati.
2. Fase Imun
Fase Imun
sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan
lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari
akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh
yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.
Jika yang
diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit
kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati
(hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk
darah, dan sulit bernapas.Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran
limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau
perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting
pada fase imun.
Leptospirosis
dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis. Pada 30
persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi),
muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi
perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan
gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien.
Gejala
juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi . Sebanyak 83 persen penderita
infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona.
Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan.
Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak
(meningitis).
E.
Pencegahan
Dapat dilakukan dengan cara :
1. Membiasakan diri dengan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS)
2. Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar
dari tikus
3. Mencuci tangan, dengan sabun
sebelum makan
4. Mencuci tangan, kaki serta bagian
tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/
selokan dan tempat tempat yang tercemar lainnya
5. Melindungi pekerja yang beresiko
tinggi terhadap Leptospirosis ( petugas kebersihan, petani, petugas pemotong
hewan dan lain lain ) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan.
6. Menjaga kebersihan lingkungan
7. Menyediakan dan menutup rapat
tempat sampah
8. Membersihkan tempat tempat air
dan kolam kolam renang.
9. Menghindari adanya tikus didalam
rumah atau gedung.
10. Menghindari pencemaran oleh tikus.
11. Melakukan desinfeksi terhadap
tempat tempat tertentu yang tercemar oleh tikus.
12. Meningkatkan penangkapan tikus .
F.
Pengobatan
Leptospira adalah penyakit yang self-limited. Secara umum prognosisnya
dalah baik. Antibiotik yang dapat diberikan antara lain :
1.
Penyakit sedang atau berat : penisilin 4 x 1,5 IU atau
amoksilin 4 x 1 gr selama 7 hari.
2.
Penyakit ringan :
ampisilin 4 x 500 mg, amoksilin 4 x 500 mg, atau eritromisin 4 x 500 mg.
G. Pengendalian dan pemberantasan Leptospirosis
Pengendalian dan
pemberantasan leptospirosis dapat dilakukan dengan tiga jalur intervensi :
a)
Intervensi sumber infeksi
Penularan dapat dicegah
dengan sebagai berikut :
a.
Melakukan tindakan isolasi atau membunuh
hewan yang terinfeksi
b.
Memberikan antibiotik pada hewan yang
terinfeksi
c.
Mengurangi populasi tikus
d.
Meniadakan akses tikus ke lingkungan
pemukiman
e.
Mencegah tikus dan hewan liar lain
tinggal di habitat manusia
f.
Melakukan vaksinasi hewan ternak dan
hewan peliharaan
g.
Membuang kotoran hewan peliharaan
b)
Intervensi pada jalur penularan
a. Memakai
alat pelindung kerja
b. Mencuci
luka dengan cairan antiseptik dan ditutup dengan plester.
c. Mencuci
atau mandi dengan sabun antiseptik
d. Meningkatkan
kesadaran terhadap potensi risiko dan bagaimana mencegah pajanan
e. Melindungi
sanitasi air minum penduduk dengan pengelolaan air minum yang baik
f. Memberikan
peringatan kepada masyarakat
g. Mekanisasi
pekerjaan dengan risiko pajanan yang tinggi, seperti pekerja pemotongan hewan,
perkebunan, dokter hewan.
h. Manajemen
ternak yang baik
i.
Menerapkan prosedur kewaspadaan standar
di laboratorium dan bangsal perawatan.
c)
Intervensi pada manusia
a. Menumbuhkan
sikap waspada dengan upaya edukasi
b. Memberikan
profilaksis pasca pajanan.
BAB III
ASPEK EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS
A. Distribusi
Kasus
a)
Person
Untuk kategori orang, mereka yang beresiko
terpapar bakteri leptospira adalah mereka yang bekerja di sektor petani,
peternak, pekerja tebu, dokter hewan, penjual susu, Mereka-mereka itu jika di
lihat dari segi profesinya. Jika berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai
resiko yang tinggi terpapar bakteri leptospira ini. Selain itu, penyakit ini
dapat terjadi pada orang-orang yang terpajan dengan sungai, atau danau yang
airnya tercemar denga urine binatang terinfeksi bakteri leptospira.
b)
Place
Tempat-tempat yang beresiko terpapar bakteri
leptospira adalah daerah persawahan, daerah rawa, lahan gambut, dan daerah
kumuh.
c)
Time
Waktu penyebaran penyakit Leptospirosis secara
umum pada musim hujan, tapi tidak selamanya pada musim hujan mempunyai
insidensi tinggi untuk penyakit Leptospirosis, tergantung pada genangan air
yang akan terbentuk jika terjadi hujan. Itupun juga kalau terjadi banjir dengan
hasil banjir yang memukau. Meskipun bukan musim
hujan , kalau tetap masih ada juga genangan air yang tercemar bakteri
leptospira yang berasal dari urin tikus akan terinfeksi penyakit Leptospirosis.
B. Faktor
Determinan
a) Faktor
Host
1) Perilaku
Faktor
individu yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis adalah kontak
dengan air, tanah (lumpur), tanaman yang telah dikotori oleh air seni penderita
leptospirosis, berjalan tanpa alas kaki di luar rumah.
2) Sistem
imunitas
Sistem
imunitas sangat penting dalam pertahanan tubuh, sehingga apabila sistem
imunitas seseorang tinggi, maka infestasi bakteri leptospira yang dibawah oleh
hewan pengerat tidak dapat membuat seseorang sakit dan
sebaliknya.
3)
Pengetahuan
Pengetahuan
tentang penyakit leptospirosis dan penanganan serta pencegahannya wmasih sangat
minim dan masih banyak orang awam tidak mengenal penyakit ini, hal ini menjadi
faktor mudahnya seseorang terkena penyakit ini.
b) Faktor
Agent
Leptospirosis
merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh bakteri dari golongan leptospira
yang berbentuk spiral kecil disebut spirochaeta. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini
(resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Hewan tersebut paling sering
ditemukan di seluruh belahan dunia.
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini :
1)
Kontak dengan air, tanah, dan lumpur
yang tercemar bakteri.
2)
Kontak dengan organ, darah, dan urin
hewan yang terinfeksi.
3)
Mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Berdasarkan berbagai data, infeksi yang
sering adalah melalu cara yang pertama. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui
kulit yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa
penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit intak (sehat) terutama
bila kontak lama dengan air. Hewan penular utama pada manusia adalah tikus.
c) Faktor
Environment
1) Faktor
lingkungan fisik
Faktor
risiko dari lingkungan fisik adalah kondisi lingkungan baik di dalam maupun di
luar rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
2) Faktor
lingkungan biologi
Faktor
lingkungan biologis seperti keberadaan hewan ternak, hewan kesayangan dan hewan
tikus dapat menjadi sumber penularan leptospirosis.
C. Riwayat
Alamiah Penyakit
1.
Prepatogenesis
Leptospirosis biasanya dapat melalui tikus. Penyakit
ini dapat ditularkan melalui air ( water borne disease ). Dan urin dari
individu yang telah terserang bakteri Leptospira
sp. merupakan sumber utama
penularan penyakit ini.
Misalnya: air kencing tikus terbawa banjir, dan
terjadi kontak antara manusia dengan air yang sudah tercemar oleh air kencing
tikus yang telah terserang bakteri Leptospira sp. Kuman leptospira
biasanya memasuki tubuh melalui luka atau lecet kulit, dan kadang-kadang
melalui selaput di dalam mulut, hidung, dan mata.
2. Patogenesis
Ada 4
tahapan, yaitu:
a. Tahap inkubasi
Masa inkubasi penyakit Leptospirosis pada
manusia yaitu 2-26 hari.
b. Tahap penyakit dini
Timbul masalah kesehatan seperti demam,
batuk kering, nyeri tenggorokan, nyeri
dada, nyeri otot, nyeri kepala, takut cahaya, muntah, dan mata merah. Tapi ada
juga penderita yang tidak menunjukkan tanda-tanda seperti yang disebutkan di
atas.
c. Tahap penyakit lanjut
Pada penderita leptospirosis yang lebih
lanjut dapat menimbulkan penyakit yang lebih parah seperti:
Sindrom Weil
Yaitu bentuk leptospirosis berat yang
ditandai dengan jaundis (kulit dan mukosa menjadi kuning), disfungsi ginjal,
nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan
1)
Tanda pada paru-paru: terjadi batuk,, nyeri dada,
sputum darah, dan gagal napas.
2)
Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena
gagal ginjal.
3)
Jika menyerang hati akan terdapat ikterus ( penyakit
kuning ), hepatomegali ( perbesaran hati ), perdarahan dan perbesaran limpa (
splenomegali ).
4)
Perdarahan subkonjungtiva: yaitu komplikasi pada mata.
Hal ini sering terjadi pada 92% penderita leptospirosis.
5)
Makular atau rash makulopapular, nyeri perut mirip
apendisitis akut, pembesaran kelenjar limfoid mirip infeksi mononukleosis.
6)
Komplikasi
ke selaput otak ( terjadi radang otak/ meningitis) dapat menimbulkan gejala
nyeri kepala, kejang-kejang, leher kaku, dan penurunan kesadaran.
7)
Pada penderita leptospirosis dengan usia lanjut ( 50
tahun ke atas ) dengan gangguan hati dapat mengakibatkan risiko kematian
sebesar 20-49 persen.
d. Tahap penyakit akhir
1)
Sembuh sempurna
Penderita diberi obat berupa antibiotik sebelum
penyakit semakin parah. Hal ini memungkinkan si penderita akan sembuh total
dari leptospirosis.
2)
Sembuh
dengan cacat
Misal pada penderita leptospirosis yang
mengalami komplikasi pada mata (perdarahan subkonjungtiva) bisa mengakibatkan
kebutaan bila terjadi perdarahan yang cukup berat.
3)
Karier
Pada umumnya leptospirosis diobati
menggunakan antibiotik. Jika si penderita merasa sudah sembuh dan menghentikan
meminum antibiotik, padahal belum habis. Maka kuman penyebab leptospirosis itu
hanya melemah dan tidak sembuh sempurna, sehingga dapat kambuh sewaktu-waktu
jika ada faktor pemicunya.
BAB
IV
KETERPAPARAN
DAN KERENTANAN
A. Keterpaparan
Untuk kategori orang, mereka yang beresiko
terpapar bakteri leptospira adalah mereka yang bekerja di sektor petani,
peternak, pekerja tebu, dokter hewan, penjual susu, Mereka-mereka itu jika di
lihat dari segi profesinya. Jika berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai
resiko yang tinggi terpapar bakteri leptospira ini. Selain itu, penyakit ini
dapat terjadi pada orang-orang yang terpajan dengan sungai, atau danau yang
airnya tercemar denga urine binatang terinfeksi bakteri leptospira. Karena
mereka berada dalam kondisi berinteraksi dengan unsur penyebab.
B. Kerentanan
Kelompok rentan leptospirosis, antara lain, petani, pekerja
tambang, peternak, nelayan perairan darat, pekerja di rumah potong hewan,
dokter dan perawat hewan, serta orang-orang di instalasi pengolah limbah.
Mereka yang gemar berolahraga air juga rentan. Warga biasa berisiko tertular
setelah banjir.
Kerentanan akan berlanjut menjadi status sakit apabila
orang/pejamu tidak memiliki sistem imunitas yang tinggi dan pola asupan makanan
yang baik dimana dapat memberikan imunitas melalui zat gizi yang terkandung
dalam makanan tersebut.
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri leptopsira sp. Dengan manifest berubah-ubah. Ciri-ciri umum
dari penyakit ini adalah demam denga serangan tiba-tiba, sakit kepala,
menggigil, mialgia berat (betis dan kaki) dan merah pada conjuctiva. Manifest
lain yang mungkin muncul adalah demam diphasic, meningitis, ruam, anemia,
perdarahan dalam kulit dan selaput lendir, gangguan mental dan depresi,
myocarditis dan pnemonia. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886
oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta
pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut diatas oleh
Goldsmith (1887) disebut sebagai “Weil’s Disease”.
Secara epidemiologik, kejadian leptopsirosis dipengaruhi
oleh 3 faktor pokok, yaitu faktor agent penyakit, seperti jumlah, virulensi,
dan patogenitas bakteri leptospira; faktor host (pejamu), seperti kebersihan
perorangan, kebiasaan menggunakan alat pelindung diri ketika sedang bekerja di
tempat berisiko leptospirosis, keadaan gizi, usia, dan tingkat pendidikan; dan
faktor lingkungan, seperti lingkungan fisik, kimia, biologik, dan sosial.
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia khususnya
di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan
yang tinggi. Tingginya angka prevalensi leptospirosis di daerah yang memiliki
iklim tropis dan subtropis, dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan yang
kurang baik sehingga memungkinkan lingkungan tersebut menjadi tempat yang baik
atau cocok untuk hidup dan berkembangbiaknya bakteri leptospira.
Sumber penularan penyakit ini adalah tikus, babi, sapi,
anjing, hamster. Ada banyak hewan lain yang dapat menjadi hopes alternatif,
biasanyan berperan sebagai carrier dalam waktu singkat seperti rubah, tupai,
rusa.
Untuk pengobatan pada manusia pengobatan Leptospirosis yang
ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau
amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan
penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin. Pencegahanya dapat
dilakukan dengan metode perilaku hidup bersih dan sehat.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penyebaran informasi
kepada masyarakat luas tentang penyakit leptospirosis, pentignya menjaga
personal higyene, menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasi untuk menghindari
masyarakat dari leptospirosis.
2. Untuk mengurangi keterpaparan dengan
kotoran rodent maka disarankan perilaku kebiasaan mencuci kaki, tangan dan
tubuh lainnya dengan sabun, menggunakan sepatu bot dan sarung tangan pada saat
kotak dan genagan air.
3. Peran serta skateholder dalam mengembangkan
Kewaspadaan Dini (SKD) terhadap penyakit leptospirosis untuk melihat keadaan
penyakit ini di masyarakat sehingga pemberantasan penyakit dapat dilakukan
secara optimal.
DAFTAR
PUSTAKA
News healt. 2003. Leptospirosis. http://www.mhcs.health.nsw.gov.au/publication pdfs/ 7140/DOH-7140-IND.pdf
Poengan,
Masniari. 2007. Leptospirosis. Bogor
: Balai Besar Penelitian Veteriner
Susanti, Eni. 2010. Leptospirosis Penambah wawasan dan mengasah kepedulian.
Widarso HS dan Wilfried. 2002. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam
Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Kumpulan Makalah Simposium
Leptospirosis. Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Widoyono.
2005. Penyakit Tropis : Epidemiologi,
penularan, pencegahan dan pemberantasan. Jakarta : Erlangga
Tidak ada komentar: